Friday, March 28, 2008

Pementasan PUAN vs OLENG


Pementasan "PUAN" Kali ini digelar untuk yang ketiga kalinya setelah sebelumnya dipentaskan di surabaya (Pentas Tunggal Teater Crystal) dan di malang (Dies natalies Teater Hitam Putih Universitas Negri Malang). Tapi penggarapan akan sangat berbeda, dengan kemasan yang lebih simple dan minim setting panggung.

Pementasan kali ini kami, Teater crystal juga mengundang Teater Arwah Malang dengan ketua rombongan Fudi "Bedor" Indarto. Mereka akan mengusung pementasan yang berjudul "OLENG".

Pementasan kolaborasi ini memang digelar untuk menutup rangkaian acara Dies Natalies Teater Crystal ke- 20 tanggal 5 maret 2008 kemarin. Sebelumnya ada tasyakuran untuk kalangan sendiri. Kemudian Lomba baca Puisi Tingkat SMA /Sederajat Se-Surabaya dengan mengundang juri Sastrawan Jawa Timur Giryadi dan Aming Aminudin. Dan telah terpilih 3 pemenang
Maseka Mayang Sari (SMA Bhayangkari Surabaya), Nabila U. B (SMA Trimurti Surabaya), Hana Clara (SMA Negeri 21 Surabaya).
Acara Pementasan PUAN vs OLENG akan digelar pada
Tanggal : Selasa, 1 April 2008
Pukul : 19.00 WIB
Tempat : GSG Giri Loka UPN "Veteran" Jatim


GRATISSSSS


Saturday, January 5, 2008

Surat Cinta Kepada Perkawinan Jiwa

Kepada :
Kekasihku Teater Tersayang

Dari Seorang Pekerja Teater
JOKO BIBIT SANTOSO

Sayang,
Melukiskan persetubuhan kita dengan kata kata terasa hambar maknanya. Karna kata hanyalah sebatas bahasa. Ia tak mampu menampung makna rasa persetubuhan kita. Coba saja ! bagaimana menggambarkan keringat syahwat, keringat rasa, dan keringat jiwa kita yang mengucur saat persetubuhan? bagaimana menceritakan desah, rintih, pekik jiwa dalam irama persetubuhan yang menggapai orgasme estetik? sedangkan untuk menggambarkan kucur keringat tubuh saja atau mau menceritakan suara desah, rintih dan pekik suara kita saat persetubuhan yang menggapai orgasme, menceritakan sesuatu yang tak kasat akan lebih baik tak utuh lagi. Tapi keutuhan di dalam pikiran yang membaca gambaran hanya akan menciptakan keutuhan masih masing, yang tentu saja berbeda.

Oleh sebab itu ketika kawan kawanku menginginkan aku menggambarkan dan menceritakan persetubuhan kita, asal saja aku mendedikasikan ungkapan pengalaman kita dalam kata kata yang hanya sebatas bahasa itu. Aku percaya apapun pilihan ungkapanku tak terlalu penting rasanya sebab ungkapan apa saja akan menjadi tak penting bila seseorang memandangnya sudah tak penting, dan akan menjadi penting bila seseorang memandangnya sudah merasa penting meski ungkapan itu sendiri sebenarnya tak begitu penting. Sesuatu yang mungkin tak berarti akan menjadi sangat berarti apabila kita dengan rela memberi arti bagi sesuatu yang tak berarti itu. Seperti persetubuhan kita yang tak begitu berarti ini.

Aku tidak tahu awalnya kenapa kita bisa bersetubuh. Mungkin awalnya dari perkenalan kita saat aku iseng mendekatimu dalam 'suatu kegiatan' sekedar mengisi waktu luang hidupku semasih mahasiswa. iseng-iseng aku menggodamu kemudian menanyakan namamu. Dan ketika tahu namamu, terasa begitu asing kedengarannya di telingaku, sebab belum pernah aku mendengarkan kata seperti namamu dalam cakrawala bahasaku waktu itu.

Teater!! apa itu? apa makna di balik bilah namamu itu? aneh dan asing rasanya. Karena aku hanya merasa pernah mendengar kata seperti itu ketika aku menonton film di bioskop. 'theater', yang sepertinya tak terlalu asing di telingaku tapi aku sendiri tajk tahu artinya. tapi aku tak perduli dengan arti atau tetek bengek semacamnya itu. Aku hanya ingin iseng berkenalan dengan kamu, titik!

Akhirnya kita kenalan. kujabat tanganmu lewat sapuan sapuku yang setiap menjelang latihan dalam'suatu kegiatan', kita senantiasa berlatih bersama, seperti bermeditasi, berhoha hoha olah suara, berjumpalitan oleh tubuh dan sebagainya. Berlatih membaca naskah, membedah naskah, menghafal dialog, berakting, kemudian berpentas bersama. Begitu mengasyikkan perkenalan kita waktu itu, sampai sampai kuliahku terbengkalai.

Selalu sehabis pementasan kita lalu berpacaran. Mulanya aku hanya berani menggandeng dan menggengam tanganmu untuk bersama-sama melepas lelah sambil menikmati perasaan hasil jerih payah selama berlatih. Kemudian meningkat, kucium pipi dan keningmu sambil bercerita panjang lebar tentang pengalaman betapa nikmatnya berpentas, yang sebenarnya tak bia dilukiskan seperti yang tadi aku katakan sebelumnya. Lebih jauh lagi kucerna bibir dan lidahmu bersamaan kusalurkan hasrat syahwat estetikku dengan liar dengan menanggalka peran tokoh yang baru kta mainkan. dan selalu kita ketagihan!

Di ruang kuliah, di bangku taman, diperpustakaan, di kolon langit-langit gedung, di kantin, di WC, di kamar kost, di belakang panggung, di kebun binatan, di jalan lengang, di makam pahlawan, di latihan ala, dan dimanapun kita berpacaran selalu bercumbu. Setiap saat kita punya waktu selalu dan selalu pacaran dan bercumbu.

Kerapnya bercumbu membangkitka keinginan yang lebih jauh lagi, dan mencapai titik kulminasi percumbuan pada fase persetubuhan kita. Aku mensetubuhi kamu tanpa harus melewati upacara ikatan formal perkawinan, tapi secara naluriah, dan berusaha menyngkirkan tetek bengek yang menghambat keinginanku itu. Tapi bukan semata membabi buta mengikuti naluriah itu, melainkan aku mengharmonisasikan dengan nurani, sehingga keinginan naluriahku itu menjadi penerjemahan atas anugerah tuhan yang diberikan kepadaku. meski banyak orang mencemooh, mentololkan dan menghujat perbuatanku itu peduli amat aku.

Ternyata dari keinginan naluriah semacam itu aku menemukan kemanusiawianku kembali. Kemanusiawian yang merasa sebelumnya bukan manusia, yang dibinatangkan syahwat, yang dimaterikan pikiran yang dirobotkan keinginan-keinginan mekanis kehidupan. Aku merasa belajar menjadi manusia dalam setiap laku persetubuhn kita. Bahkan mendorong aku mampu menuangkan kemuakkanku terhadap diriku sendiri dan kehidupan yang tidak membuat aku dalam kemanusiawian itu ke dalam baris kata-kata, yang kemudian menjadi alur cerita untuk dipentaskan. Terlebih lagi, membuat aku lebih berdaya menggarap cerita itu menjadi sebuah pertnjukkan.

Sungguh aku tidak mengerti kenapa aku bisa menjadi peulis, padahal aku tak memiliki budaya menulis. Bahkan mensutradarai tulisanku sendiri, padahal secara formal atau mungkin bakat aku tak memiliki kemamuan itu. Jujur saja aku kadang bingtung memikirkan ini. Tapi jelas semua ini gara-gara persetubuhan ini bukanlah suatu dosa, tapi sebaliknya karunia yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada yang bukan manusia seperti aku. Sungguh aku terlalu bersyukur, terlalu bersyukur.

Oleh sebab itu aku ingin melamarmu dalam perkawinan jiwa, tanpa melewati keformalan yang tak membuatku menjadi manusia. Mungkin bisa saja surat ini sebagai surat lamaranku kepada kamu yang sedikit berbau formal itu. Tapi yang jelas sebelum aku menulis surat ini, aku sudah melamarmu dan tidak formalis. Harapanku aku ingin kau mau menikah denganku dalam perkawinan jiwaku, setelah cukup lama berulang kalio kita melakukan persetubuhan bersama. Salam inginku kepada calon mempelaiku yang bernama "Teater".

Surakarta, 8 januari 2001

*Tersimpan dalam laci tangsi Teater crystal



Tuesday, July 10, 2007

Wednesday, June 20, 2007

Pentas Tunggal "PUAN"


pentas tunggal teater Crystal
tanggal 22 Juni 2007
jam 19.30 Wib
tempat Gedung Serba Guna Giri Loka UPN "Veteran" Jatim

FREE.....!!!


akan dipentaskan kembali
tanggal 1 Juli 2007
jam 19.30 Wib
tempat di gedung J9 depan Sasana Bakti
Universitas Negeri Malang

Monday, March 5, 2007

Sebuah Potret Meja Makan

(POLIGAMI)

by : Luky HW


BABAK I

Maruti:

Halo, selamat pagi! Betul, saya sendiri. Oh… pak RT. Pak Kusmiyanto masih mandi. Ada perlu apa, ya pak? Aduh, maaf lho pak RT. Nanti biar saya kasih tahu.


Kusmiyanto:

Telepon dari siapa?


Maruti:

Pak RT. Sarapan?


Kusmiyanto:

Ada apa? Pagi-pagi sudah ganggu.


Maruti:

Nasi goreng ceplok telur atau roti?


Kusmiyanto:

Roti saja, biar cepat.


Maruti:

Itu lho, minggu besok ada kerja bakti. Ikutlah sekali-sekali. Malu sama tetangga. Kamu, kalau ada kerja bakti selalu nggak pernah kelihatan batang hidungnya. Kopi atau teh?


Kusmiyanto:

Susu.

Maruti:

Habis.


Kusmiyanto:

Kopi. Kenapa mesti malu? Omongan tetangga saja kok didengar.

Maruti:

Ya sudah. Tapi datang ya. Nih, kopinya.


Kusmiyanto:

Eh… jeng Rut… ada yang ingin saya sampaikan.


Maruti:

Apa?


Kusmiyanto:

Anu jeng Rut… Saya mau… Aduh, bagaimana ya memulainya?


Maruti:

Soal apa sih?


Kusmiyanto:

Saya ingin… Aduh, saya khawatir kalau...


Maruti:

Kalau apa? Ya, bicara saja to, mas.


Kusmiyanto:

Saya mau…


Maruti:

Mau apa?


Kusmiyanto:

Tapi jeng Rut jangan kaget dulu lho. Janji. Pokoknya, apa yang saya sampaikan nanti, tolong dicerna dulu dengan seksama. Jangan terburu emosi. Jeng Rut kan perempuan dewasa, cerdas, intelek…

Maruti:

Iya apa... Langsung saja deh!



Kusmiyanto:

Saya… mau… kawin lagi!


Maruti:

(sambil merebut roti) Apa? Kawin lagi?


Kusmiyanto:

Ya, jeng. Kawin lagi. (Maruti merebut kopi) Eh… gini jeng. Akan saya saya jelaskan…


Maruti:

Tulis alasan kamu, kenapa mau beristri lagi, di kertas ini! Serahkan padaku sepulang dari kantor nanti sore! Saya harus segera berangkat. Mobil saya pakai!


Kusmiyanto:

Tapi, jeng Rut…


Maruti:

Jalan kaki saja! Edy… siapkan mobil! Antarkan ibu ke kantor!


Edy:

(dari balik layer) Ya, bu…



BABAK II


Kusmiyanto:

Bagaimana dik Rosmini, betah tinggal di sini?


Rosmini:

Ya, mungkin saya butuh waktu untuk membiasakan diri dengan rumah ini. Termasuk dengan mbak Maruti. Ya kan, mbak?


Kusmiyanto:

Dik Rosmini jangan sungkan-sungkan. Rumah ini adalah rumah kita bertiga. Jadi kalau ada apa-apa, bilang terus terang. Jeng Rut, sarapannya dong.

Rosmini:

Sini mbak Rut, saya bantu.


Kusmiyanto:

Eh-eh, dik Ros duduk saja di sini. Jeng Maruti sudah biasa menyiapkan sarapan sendiri. Ya kan, jeng? Dik Ros cukup memperhatikan saja dulu. Nanti kalau sudah terbiasa dengan rumah ini, baru boleh ikutan nimbrung. Jeng Rut, sarapannya mana?


Maruti:

Sebentar! Ini juga baru selesai.


Kusmiyanto:

Jangan lupa susunya.


Rosmini:

Saya juga susu, mbak Rut.


Maruti:

Tidak ada susu. Pagi ini tukang susunya tidak ke sini.


Rosmini:

Lho, kenapa?


Maruti:

Entahlah. Mungkin sapi-sapi betina sedang ngambek, nggak mau diperas lagi susunya.


Rosmini:

Kok jadi kayak buruh, pakai ngambek segala.


Maruti:

Ya, beda. Kalau itu mogok, bukan ngambek. Penyebabnya saja yang sama, sama-sama diperas.


Kusmiyanto:

Kalau sapi betina ngambek, kenapa tidak peras susu yang jantan saja?


Maruti:

Ya, peras saja susumu! Bisa ngga?


Kusmiyanto:

Oh… ya jelas nggak bisa dong, jeng.


Maruti:

Nah, itulah persamaannya kamu dengan sapi jantan.


Kusmiyanto:

Ya sudah, kopi saja.

Rosmini:

Saya juga, mbak.


Kusmiyanto:

Selebriti asal Surabaya, Laras Kobe, digugat cerai suaminya.” Wah, berita hangat nih. “Alasan sang suami menceraikan Kobe, begitu artis berparas cantik ini akrab dipanggil, karena hingga usia perkawinannya yang ke tiga tahun, mereka tidak juga dikaruniai anak. Menurut penuturan sang suami, Kobe-lah yang bermasalah…”


Maruti:

Sudah, ah. Pagi-pagi baca berita begituan. Baca yang lain saja. Dasar, wartawan infotainment. Orang cerai ya ditulis.


Rosmini:

Hus! Hati-hati kalau bicara soal wartawan lho, mbak. Saya ini juga wartawan.


Maruti:

Tuh kan, gampang tersinggung. Oalah… wartawan jaman sekarang…


Rosmini:

Maksud mbak Maruti ini apa, sih?


Maruti:

Maksud saya, apa tidak ada berita yang lebih berbobot dari sekedar berita perceraian seorang artis yang baru satu dua kali nongol di TV. Misalnya, berita tentang artis-artis berprestasi kek, apa kek…


Kusmiyanto:

Sudah… sudah, jangan berdebat. Aku baca berita yang lain saja. “Artis papan atas Naya Titania diceraikan suaminya yang juga seorang artis terkenal, Raymond A. S., justru karena banyak anak. Sebab, dari sekian banyak anaknya, ditengarai ada beberapa yang bukan buah dari Raymond, melainkan…”


Rosmini:

Hus! Wah, ngacau betul wartawan itu. Padahal, seminggu lalu saya wawancara dengan mereka berdua untuk rubrik profil majalah saya. Mereka itu keluarga bahagia.


Maruti:

Hemm… ya itu, jurnalisme amburadul.


Kusmiyanto:

Jeng Rut… Ya sudah, baca ini saja…


Rosmini:

Nggak usah dibaca, kalau hanya akan menimbulkan perdebatan.


Maruti:

Lho, kenapa tidak?


Kusmiyanto:

Dik Ros tidak perlu khawatir. Wong ini cuma berita tentang komersialisasi pendidikan yang terjadi di U-P-…

Maruti dan Rosmini:

Hus!



BABAK III

Dumilah:

Wah, seru ya tingga di sini. Ramai. Aku senang banget lho, mas.


Kusmiyanto:

Betul begitu dik Milah? (Dumilah mengangguk) Ya, syukur kalau begitu. Sebagai istri yang paling muda, kamu wajib menghormati istri-istri yang lebih tua. Ros, sarapannya mana?


Maruti:

Dik Milah ini aneh. Tinggal serumah sama istri-istrinya mas Kusmiyanto kok malah senang.


Dumilah:

Iya dong. Pada dasarnya, saya tidak suka kesepian mbak Mar, eh… sori, mbak Rut. Dulu waktu masih tinggal di rumah kontrakan, uih… sepi banget. Untungnya, mas Kus sering mampir ke sana.


Maruti:

Oh… begitu…


Rosmini:

Dasar aneh!


Dumilah:

Lho, apanya yang aneh? Memangnya, selama ini mbak Rut dan mbak Ros tidak bahagia tinggal bersama di sini? (Rosmini dan Maruti hanya terdiam) Terus, kenapa mau dipoligami?



Rosmini:

Kamu sendiri, kenapa mau dipoligami?


Dumilah:

Ah, alasan itu tidak penting. Yang penting, saya senang tinggal bersama di sini. Ramai… seru… bisa, keroyokan…


Rosmini:

Kelainan kamu!


Kusmiyanto:

Ah… sudahlah! Kita semua kan sudah sepakat. Ros, mana sarapannya?


Rosmini:

Sekali-sekali ambil sendiri dong!


Maruti:

Iya, biasa main perintah saja!


Dumilah:

Ya sudah, saya saja yang menyiapkan sarapan buat mas Kus.


Maruti dan Rosmini:

Setuju!


Kusmiyanto:

Minta susu, dik Milah.


Dumilah:

Beres. Aduh, susunya habis mas Kus. Kopi saja ya?


Kusmiyanto:

Ya, apa saja deh. Sekalian rotinya.


Dumilah:

Wah, rotinya juga habis, mas.


Kusmiyanto:

Ya sudah, minum kopi saja kalau begitu. Nggak usah sarapan. Agak cepat dong.


Dumilah:

Nih, kopinya.


Kusmiyanto:

Terima kasih. Duh! Kok pahit sih?


Dumilah:

Ups, sori. Lupa kasih tahu. Gulanya juga habis.




BABAK IV


Kusmiyanto:

Edy…


Edy:

Ya, Pak Kus.


Kusmiyanto:

Sini.


Edy:

Ada apa, pak?


Kusmiyanto:

Sarapan?


Edy:

Aduh, terima kasih. Saya sudah sarapan.


Kusmiyanto:

Lho, bujangan kayak kamu gini, ya ada juga to yang menyiapkan sarapan?


Edy:

Jangan salah, pak. Meski bujangan, saya kan doyan jajan.


Kusmiyanto:

Oh… nakal kamu!


Edy:

Maksud saya, kalau sekedar sarapan, ya tinggal nongkrong di warungnya Sumini to, pak.


Kusmiyanto:

Kalau begitu, saya buatkan kopi saja ya?


Edy:

Kok repot-repot, pak. Tapi… boleh deh.


Kusmiyanto:

Nih, kopinya.


Edy:

Terima kasih, pak. Wah, kopi buatan Pak Kus pas banget rasanya. Dahsyat!


Kusmiyanto:

Kusmiyanto… Eh, tahu nggak. Ya gara-gara kopi buatanku ini, Maruti, Rosmini dan Dumilah, kecantol jadi istriku. Cuma, cara penyajiannya saja yang beda.


Edy:

Beda bagaimana, pak?


Kusmiyanto:

Kalau buat kamu, saya sajikan secara sederhana saja. Ya, seperti ini. Kalau buat mereka, saya sajikan selepas… kelon…


Edy:

Pak Kus ini lho, ada saja…


Kusmiyanto:

Nanti kalau sama istrimu juga harus begitu, Ed. Supaya…


Edy:

Supaya langgeng ya, pak?


Kusmiyanto:

Nggak. Ya, supaya bisa… poligami!


Edy:

Oalah Pak Kus… Pak Kus.


Kusmiyanto:

Tapi… sampai dengan istri yang ke tiga, saya kok masih merasa gelisah ya, Ed.


Edy:

Lho, kenapa, pak?


Kusmiyanto:

Ketiga-tiganya tidak mampu memberikan aku anak. Padahal, alasan aku berkali-kali menikah, karena istri-istriku tidak kunjung memberikan aku anak. Jangan… jangan… ada yang salah dengan aku ya, Ed.

Edy:

Apa tidak coba periksa ke dokter, pak?


Kusmiyanto:

Untuk apa? Aku ini keturunan keluarga besar lho, Ed.


Edy:

Ya, kan tidak ada salahnya mencoba. Eh… begini saja. Saya punya ramuan mujarab, dari Arab. Mungkin ini bisa membantu.


Kusmiyanto:

Mau… mau, Ed.




BABAK V


Dumilah:

Pagi benar mas Kus berangkat. Tumben nggak sarapan. Mobilnya dipakai, ya?


Rosmini:

Ya.


Dumilah:

Aduh… padahal hari ini saya harus mengantar beberapa berlian ke pelanggan-pelanggan.


Rosmini:

Eh, suami kita itu lho, punya tampang pas-pasan, pekerjaannya nggak jelas, body kelebihan, tapi kalau minta makan, duh… macam-macam. Merepotkan.


Dumilah:

Bukan cuma soal makanan saja minta macam-macam. Gayanya juga macam-macam. Maunya sih, kayak yang di film-film gitu. Katanya biar variasi. Kalau tiba-tiba mengi, stroke, bagaimana?


Maruti:

Aduh… memangnya semalam kamu diapain saja sih, Mil?


Dumilah:

Gitu kok ikut trend. Kemauan sih oke, tapi kemampuannya itu lho. Ya, Cuma seperti mengedipkan mata. Blep… pyek… rampung deh. Kan jadi ngedrop, mbak.


Rosmini:

Kalau sampai sekarang kita tidak juga memberikan anak, jangan-jangan… dia bakal kawin lagi. Lho... lho... tapi kalo dia mau kawin lagi, mau kawin sama yang umur berapa? Mbak Maruti sudah 30 tahun, saya 27 tahun, dik Dumilah sendiri 23 tahun. jangan-jangan nanti dia cari janda beranak dua. Terus... kita manggilnya bagaimana? Mbakyu? Bude? Tante? Ah... ruwet. Terus, bagaimana mbak Maruti?


Maruti :

Kalo begitu, sudah saatnya kita merapatkan barisan untuk memboikot mas Kus. Enak saja. Lagi pula, kita kan belum pasti nggak bisa ngasih anak. Jangan-jangan malah dia yang...





BABAK VI


Istri-istri mulai saling melempar kewajiban melayani Kusmiyanto. Pola pengadeganan bebas.



BABAK VII


Suasana sarapan pagi yang dingin. Masing-masing tidak saling berbicara. Begitu Kusmiyanto memulai pembicaraan, semua istri mengakhiri sarapan dan berangkat ke kantor. Pengadeganan bebas.



BABAK VIII


Ruang lamunan tokoh-tokoh, dimana masing-masing pemain mengeksplorasi panggung menjadi simbol kesendirian para tokoh. Pengadeganan bebas.





BABAK IX


Kusmiyanto:

Selamat pagi, istri-istriku! Wah, hari ini tampak ceria semua.


Dumilah:

Iya, mas Kus. Kami...


Rosmini:

Kami punya kejutan buat mas Kus.


Kusmiyanto:

Kejutan? Wah, apa itu? (istri-istri tersenyum, saling menatap satu sama lain, sambil menunjukkan perut masing-masing) Apa? Betul begitu? (Kusmiyanto mengekspresikan kegembiraan hatinya. Tiba-tiba terdengar dering telepon) Halo, selamat pagi! Betul, saya sendiri. Oh... dokter Prya. Bagaimana, dok? Apa? Tapi, tidak mungkin. Dokter tidak salah diagnosa? Jadi... saya... steril... (Edy masuk, disambut istri-istri dan langsung dilayani bak suami).

Monday, February 19, 2007

Diklat 2006/2007

masih tersisa senyum manis dihimpit ragu
mampukah bertahan dengan manusia manusia sepi
sorak sorai tidak boleh selesai
dengan darah yang tinggal setetes
nadi harus terus bergetar

selalu siap terima malu dan tamu walau kami
buruk rupa
buruk ucap
buruk laku

setidaknya lebih baik daripada
tak ada ucap
tak ada laku
hanya mengerang keluh



Wednesday, January 10, 2007

Kembang Gula

oleh: Tri indah

“Sudah, lebih baik kita break saja!” teriak Aktor kepada Jelita. “Apa? Break? Maksudmu? Masa pacaran pake break, Tor?” tanya Jelita dengan tercengang. ”Pokoknya kita introspeksi diri masing-masing deh. Aku capek bertengkar melulu sama kamu, ngerti?” jawab Aktor dengan ketus. ”Berapa lama?” tanya Jelita pelan. ”Entahlah. Sampai salah satu dari kita capek dan berhak memutuskan hubungan!” ujar Aktor dengan entengnya. ”Berarti, kita sekarang putus tor?” tanya Jelita sekali lagi, sambil menyeka ingusnya. Suaranya mulai bergetar. ”Pokoknya, break!” jawab Aktor singkat. Kali ini suara Aktor terdengar dingin dan angkuh.

Masih teringat di benak Jelita peristiwa satu bulan yang lalu, saat Aktor mambuat keputusan tentang hubungan mereka berdua. Dan sekarang, di depan matanya, ia melihat Aktor sedang naik motor berdua dengan Karen. Hati Jelita kembali miris. “Apakah ini yang dimaksud Aktor break? Apakah ini yang dimaksud Aktor introspeksi? Bisa seenaknya saja jalan berdua dengan orang lain?” tanya Jelita kepada Deden, temannya yang selalu setia mendengar keluh kesahnya. ”Sabar Li. Mungkin Karen sama Aktor sedang mengurus surat-surat untuk pertunjukan yang akan datang. Bukannya mereka berdua memang yang bertanggung jawab?” hibur Deden. ”Iya. Tapi apa harus mesra seperti itu? Dan ketika aku iseng tanya sama Nina, memang mereka berdua mesra banget. Bukan mesra seperti teman Den,” jawab Jelita dengan suara bergetar. Suara yang khas dari seorang cewek saat menahan tangis. ”Ah, sudahlah. Nanti juga pasti jelas hubungan kalian berdua seperti apa. Tenang, bu,” sambil tersenyum, Deden kembali menghibur sahabatnya. “Tapi Den, aku nggak kuat melihat mereka berdua terus-terusan. Belum lagi gosip yang nggak enak di kupingku. sakit rasanya liverku ini,” rintih Jelita pada Deden. ”Udah, udah. Jangan terlalu dipikirin. Lama lama nanti malah kamu yang masuk rumah sakit. Wah, aku yang repot jadinya. Siapa yang bantuin aku? Wis, wis, cup ya, anak manis,” Jelita tersenyum mendengar bujukan sahabatnya. Seolah-olah Jelita masih balita yang menyusu pada ibunya. ”Ha… ha… Enak aja. Emangnya aku keponakanmu, yang bisa dibujuk pake permen Den?” teriak Jelita tepat di telinga Deden, sambil menggelitiki pinggang sahabatnya yang sedang mengaduk kopi di cangkir. Kontan saja Deden kaget. Sendok pengaduk kopi pun melayang kearah Jelita yang sudah lari menjauh darinya sambil tertawa. Dalam hati, Deden sedikit lega melihat senyum Jelita. Paling tidak dalam satu hari ini ia berhasil membuat tersenyum kembali sahabatnya itu.

“Jalan, yuk?” tanya Aktor ketika menelepon Jelita pada suatu hari. ”Jalan kemana?” Jelita menjawab dengan malas. ”Kemana aja. Pokoknya jalan,” kata Aktor. ”Jalan aja sama Karen. Toh kemarin aku lihat kalian berdua sedang asyik nongkrong. Di… Rumah Kopi kan?” tanya Jelita sambil meremas-remas kabel telepon. ”Maksudnya apa sih Tor? Seperti itu maksud kamu introspeksi? Bisa jalan berdua dengan cewek lain? Kalo memang udah nggak mau nerusin hubungan kita lagi, ya udah, jangan bikin aku menggantung. Jangan egois!” Jelita nerocos dengan menggebu-gebu. ”A… a… aku nggak jj… jalll… an sama Karen kok. Tahu darimana kamu?” kata Aktor terbata-bata. ”Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Kemarin aku kebetulan lewat Rumah Kopi selesai workshop tari dengan Nungki Kusumastuti di Galeri Srawung. Kamu nggak usah bohong!” kata Jelita sewot. Ia berusaha menahan air mata yang sudah mulai menggantung di pelupuk matanya. Ia malu karena sejak tadi ibunya mencoba curi-curi pandang memperhatikan tingkahnya. ”Tapi aku bisa jelaskan Li. Aku sama Karen kemarin habis ngambil poster untuk disebar ke kantong-kantong kesenian, terus mampir untuk beli minum, udah itu aja, nggak lebih kok,” kilah Aktor. ”Tuh kan, akhirnya kamu keceplosan kalau memang keluar sama Karen. Tadi katanya kamu nggak jalan sama Karen. Mana yang benar?” teriak Jelita. Tanpa ia sadari, ibunya yang sejak tadi memperhatikannya, melotot sambil mengangkat jari telunjuknya ke mulut. Dengan nada lebih pelan, Jelita melanjutkan pertanyannya. ”Terus, lusanya kamu jalan juga sama Karen ke pertunjukan di SCC kan? Aku tahu dari temanku yang kebetulan jadi panitianya. Kamu nggak usah mungkir Tor. Aku sudah tahu semuanya. Kamu banyak mengingkari komitmen yang kamu buat sendiri. Sepertinya, kamu nggak usah ketemu aku lagi,” kata Jelita sambil menutup telepon. Ia terdiam sesaat. Kemudian menghembuskan nafas yang sempat tertahan.

Dua bulan kemudian...

“Li, Aktor datang sama Karen di technical meeting Pagelaran Seribu Seniman yang kita pegang ini. Kamu jangan kaget ya,” Deden memberitahu Jelita dengan hati-hati karena takut hati sahabatnya teriris lagi. ”Hmm…,” sahut Jelita dengan tetap memandang layar monitor. Dua bulan terakhir ini Jelita sudah banyak merenung dan berdoa. Bahkan nggak tanggung-tanggung, Jelita mencoba Sholat Istikharah demi menenangkan hatinya dan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa tentang apa yang terbaik baginya dan Aktor. Dan sekarang Jelita pasrah.

Saat technical meeting…

“Dan nanti apabila ada yang membutuhkan informasi lebih atau membutuhkan surat, bisa menghubungi Jelita Restu Bumi atau yang biasa dipanggil Elit atau Jelita,” kata Deden menerangkan kepada peserta technical meeting, sambil menyenggol Jelita. “Oh iya, saya Jelita. Kalau butuh informasi lebih lanjut bisa menghubungi saya,” jawab Jelita tergagap karena pikirannya tertuju kepada Aktor dan Karen yang duduk diseberangnya. Jelita sudah bulat dan mantap untuk mengakhiri hubungannya dengan Aktor. Diambilnya HP, lalu mulai mengetik kata-kata perpisahan. ”Sepertinya kamu bisa jalan dan pacaran sama siapa saja Tor. Mulai saat ini kamu bebas menentukan hidup kamu sendiri. Terima kasih atas waktu yang sudah kita jalani berdua. Hubungan kita berakhir, aku mundur!” send… Aktor… Ok. Terkirimlah SMS yang Jelita buat. Tit… tit… tit… Dari seberang terdengar suara HP. Jelita hanya sanggup menahan air mata karena acara technical meeting masih berlangsung. Jelita dan Aktor sempat berpandangan. Namun hanya tiga detik Jelita mampu menatap Aktor.

Tiga hari kemudian Aktor nekat mencari Jelita di sekolahnya bahkan sampai ke kelas-kelas. Jelita tahu kalau Aktor mencarinya sebab SMS yang dikirimkan Aktor tidak dihiraukannnya. Telepon kerumahnya yang berkali-kali dan berkali-kali pula menyuruh Mak Supi mengatakan kepada Aktor kalau dia sedang… pergi latihan tarilah, sibuk ngurus pagelaran di Galeri Srawunglah, pokoknya terserah Mak Supi dia mau ngomong apa. Pokoknya Jelita nggak mau dengar suara Aktor. Tapi kini Jelita tidak bisa menghindar lagi. Jarak mereka kini hanya satu meter dan tidak ada waktu untuk berbalik menuju kantor kepala sekolah. “Akhirnya aku bisa ketemu kamu. Kemana aja? SMSku nggak nyampe? Kamu sibuk ngurus pagelaran? Apa maksud SMS kamu waktu TM, Li?” tanya Aktor nerocos dan ngos-ngosan. ”Nyampe kok. Memang lagi sibuk ngurus pagelaran. Maksudku udah jelaskan, kita udah nggak ada hubungan lagi. Ngerti bahasa Indonesiakan?” jawab Jelita pendek-pendek dan to the point. “Tapi Li…?” belum sempat Aktor bicara banyak, Jelita menyahut, ”Tor… udahlah. Kamu kembali aja ke kampus. Bukannya kamu juga lagi sibuk persiapan untuk pagelaran? Kamu dan Karen udah klop, nggak usah mikirin aku. Aku cuma anak sekolah yang lagi sibuk-sibuknya mencari pengalaman dalam membuat pagelaran besar. Kita akan berhubungan hanya sebatas kerja. Sori Tor, aku sibuk,” Jelita meninggalkan Aktor yang sedang terbengong. Dia tidak menyangka kalau Jelita sudah jauh lebih dewasa. Padahal hanya tiga bulan mereka tidak bersama-sama. Jelita memang satu-satunya anak SMA yang bisa masuk di lingkungan seniman kota karena kemampuannya dalam menari tidak diragukan lagi. Dan lebih dari itu, pengalamannnya yang sudah beberapa kali mengikuti pagelaran tari di beberapa negara, membuat Jelita bisa menjadi panitia event besar yang akan datang.

Dalam kesendiriannya, Aktor teringat pertemuan mereka berdua dulu. Aktor adalah mahasiswa jurusan teater yang seringkali latihan dan nongkrong di galeri tempat Jelita latihan menari tiap tiga kali dalam seminggu. Untuk pertama kalinya Aktor bisa betah duduk melihat latihan tari karena pada waktu itu ia melihat Jelita yang sedang luwes-luwesnya menarikan Tari Bedoyo. Jelita begitu mungil, manis, tapi terlihat sekali kalau cewek itu adalah sosok yang punya bakat besar dan tekat kuat. Sejak saat itulah Aktor semakin sering nongkrong dan menungu Jelita pulang latihan. Dan selama satu bulan pendekatan, dia berhasil menyunting Jelita untuk jadi kekasihnya. tapi setelah tiga setengah tahun menjalin hubungan, Jelita memutuskan hubungan. Itu juga karena Aktor yang pertama kali mengusulkan mereka break. Aktor bingung. Tiba-tiba dia teringat Deden teman kuliahnya yang kebetulan adalah sahabat Jelita di lingkungan seniman kota. Aktor segera berlari menuju sepeda motornya dan meninggalkan sekolah Jelita untuk menemui Deden untuk meminta bantuannya.

“Den… Deden…,” teriak Aktor ketika memasuki komplek Unit Kegiatan Mahasiswa di kampusnya. ”Apa sih, teriak-teriak dari ujung komplek sampe kesini. Kayak orang kesetanan aja. Ada apa ?” tanya Deden. ”Aku minta bantuan kamu untuk meluluhkan hati Jelita. Den, help me my friend… Kamu kan sahabat terbaiknya Jelita, plis…,” ujar Aktor memohon. Nafasnya masih ngos-ngosan. ”Nggak ah. Kamu sekarang baru merasa kehilangan Jelita. Kemana aja kamu Tor? Nggak sadar kalo udah punya pacar yang segitu baiknya, sabar, pengertian, punya segudang prestasi lagi. Kalo Jelita masih agak kekanak-kanakan mestinya kamu paham. Dia baru kelas dua SMA. Sebentar lagi aja naik kelas tiga. Kamu yang udah mulai dewasa mestinya bisa membimbing dia. Bukannya ngajak break segala. Kalo Jelita mau, dari dulu dia udah mutusin kamu. Nggak sedikit anak yang nembak dia. Ingat kan teman-teman dari Bandung yang sempat ngejar Jelita sampe ke Surabaya? Sa’i anak seni rupa teman kita, yang sekali melihat Jelita langsung berani nembak. Aria anak Solo, yang sempat kerjasama bareng Jelita terus langsung kelimpungan waktu ditinggal pulang ke Surabaya, ingat? Terus… Galih… Rako… Arnet anak balet… Randu si seniman sableng kampus kita… ah… pokoknya banyak. Mestinya kamu jauh lebih tahu kan kalo Jelita itu kembangnnya seniman muda, dari yang sok seniman, seniman sableng, sampe yang benar-benar seniman mumpuni, mengharapkan Jelita jadi belahan hati mereka. Kamu yang udah jadi pacarnya malah menyia-nyiakan Jelita. Goblok lu… Pokoknya aku nggak mau bantuin kamu karena aku tahu gimana menderitanya Jelita saat itu,” jawab Deden panjang lebar dengan entengnya, sambil rokok tidak lepas dari mulutnya dan tangan yang terus mengetik di keyboard komputer. ” Urus sendiri deh, kamu kan udah jago sama perempuan. Buktinya, Karen bisa luluh sama kamu. Gih sana,” ujar Deden cuek. “Kok tega sih Den. Kamu kan teman lama aku juga. Bantu kek… Aku sama Karen nggak ada apa-apa,” Aktor mengiba. “Dasar muka monyong lu! Aku pernah tanya Karen, katanya kamu udah nembak dia, maksudnya apa? Jelita mau ditaruh dimana? Ban serep? Aku nggak rela Tor, kalo Jelita kamu buat bulan-bulanan. Tahu nggak gara-gara ada masalah sama kamu Jelita sempat pingsan waktu latihan buat pagelaran yang akan datang. Berat badan Jelita turun tiga kilo. Padahal sama mbak Sinto berat badannya harus stabil biar proporsional. Kamu tega ya… Ojo’ gendeng Tor! Kuwi ngono cah wadon. Ojo wani-wani karo wong wadon. Kuwalat kowe Tor!” kembali Deden menceritakan penderitaan Jelita meskipun sedikit dibumbui. Deden memang jagonya mendramatisir hampir apa saja.

Aktor benar-benar merasa bersalah. Dia ingin sekali kembali pada Jelita. Keesokan harinya Aktor sudah menunggu di depan rumah Jelita seperti yang ia biasa lakukan sebelum-sebelumnya untuk mengantar Jelita ke sekolah. Jelita membuka pintu pagar rumahnya dan kaget melihat Aktor yang dengan senyum termanisnya mengucapkan, “Selamat pagi. Berangkat sekolah ya? Bareng, yuk?” ”Dari jam berapa nongkrongin rumah orang?” tanya Jelita. ”Jangan sewot gitu dong, biasanya kan juga seperti ini?” kata Aktor. ”Aku berangkat naik angkot. Terima kasih sudah nunggu aku dari tadi. Aku berangkat,” jawab Jelita sambil melangkahkan kaki menuju gang depan rumahnya untuk menunggu angkot. ”Lho, Li… Aku antar ya? Apa gunanya aku nunggu kamu dari tadi?” tanya aktor sambil berusaha mengejar Jelita. ”Lho, aku kira kamu cuma nunggu aku keluar dari rumah aja, aku nggak pernah minta kamu untuk mengantar aku pergi sekolah kan? Lagian, aku udah biasa kok berangkat dan pulang sekolah sendiri tanpa diantar,” dengan entengnya Jelita menjawab sambil terus melangkahkan kaki ke ujung gang sementara Aktor tidak mampu menjawab ocehan Jelita.

Pagelaran Seribu Seniman…

Aktor di deretan penonton. Ia melihat Tari Bondan di panggung dan terkesima. Selain koreografinya yang menarik dan indah, pastinya seorang gadis mungil dengan penuh penghayatan sedang menari tunggal di tengah panggunglah yang membuatnya terkesan. Ya, siapa lagi kalau bukan Jelita. Sudah lima bulan Aktor berpisah dengan Jelita. Dia masih merasakan kasih sayang yang amat dalam terhadap gadis mungil itu. Aktor tidak berhasil merebut hati kekasihnya yang sudah terlanjur sakit. Kini Aktor hanya bisa melihat Jelita dari panggung ke panggung, karena nama Jelita semakin berkibar menjadi penari muda berbakat. Sedangkan dia tetap menjadi mahasiswa jurusan teater yang tidak ada kemajuan. “Terus berkarya Jelita Restu Bumi. Suatu saat, kamu akan jadi seniman yang berpengaruh…,” gumam Aktor, kemudian pergi meninggalkan gedung pertunjukkan dengan langkah berat. Pikirannya dipenuhi gambar-gambar masa lalunya dengan Jelita. Gambar-gambar itu saling berkelebatan dan tidak ada habisnya.

Jelita di balik panggung…

“Terima kasih tetap mau melihat tarian-tarianku, Tor… Aku harap kamu bisa menyadari apa artinya kesetiaan dan cinta… Terima kasih…,” kata Jelita selepas menyeka keringatnya di wajahnya dengan handuk.

Teater Crystal, 16 Oktober 2006

Crystal Production