Saturday, January 5, 2008

Surat Cinta Kepada Perkawinan Jiwa

Kepada :
Kekasihku Teater Tersayang

Dari Seorang Pekerja Teater
JOKO BIBIT SANTOSO

Sayang,
Melukiskan persetubuhan kita dengan kata kata terasa hambar maknanya. Karna kata hanyalah sebatas bahasa. Ia tak mampu menampung makna rasa persetubuhan kita. Coba saja ! bagaimana menggambarkan keringat syahwat, keringat rasa, dan keringat jiwa kita yang mengucur saat persetubuhan? bagaimana menceritakan desah, rintih, pekik jiwa dalam irama persetubuhan yang menggapai orgasme estetik? sedangkan untuk menggambarkan kucur keringat tubuh saja atau mau menceritakan suara desah, rintih dan pekik suara kita saat persetubuhan yang menggapai orgasme, menceritakan sesuatu yang tak kasat akan lebih baik tak utuh lagi. Tapi keutuhan di dalam pikiran yang membaca gambaran hanya akan menciptakan keutuhan masih masing, yang tentu saja berbeda.

Oleh sebab itu ketika kawan kawanku menginginkan aku menggambarkan dan menceritakan persetubuhan kita, asal saja aku mendedikasikan ungkapan pengalaman kita dalam kata kata yang hanya sebatas bahasa itu. Aku percaya apapun pilihan ungkapanku tak terlalu penting rasanya sebab ungkapan apa saja akan menjadi tak penting bila seseorang memandangnya sudah tak penting, dan akan menjadi penting bila seseorang memandangnya sudah merasa penting meski ungkapan itu sendiri sebenarnya tak begitu penting. Sesuatu yang mungkin tak berarti akan menjadi sangat berarti apabila kita dengan rela memberi arti bagi sesuatu yang tak berarti itu. Seperti persetubuhan kita yang tak begitu berarti ini.

Aku tidak tahu awalnya kenapa kita bisa bersetubuh. Mungkin awalnya dari perkenalan kita saat aku iseng mendekatimu dalam 'suatu kegiatan' sekedar mengisi waktu luang hidupku semasih mahasiswa. iseng-iseng aku menggodamu kemudian menanyakan namamu. Dan ketika tahu namamu, terasa begitu asing kedengarannya di telingaku, sebab belum pernah aku mendengarkan kata seperti namamu dalam cakrawala bahasaku waktu itu.

Teater!! apa itu? apa makna di balik bilah namamu itu? aneh dan asing rasanya. Karena aku hanya merasa pernah mendengar kata seperti itu ketika aku menonton film di bioskop. 'theater', yang sepertinya tak terlalu asing di telingaku tapi aku sendiri tajk tahu artinya. tapi aku tak perduli dengan arti atau tetek bengek semacamnya itu. Aku hanya ingin iseng berkenalan dengan kamu, titik!

Akhirnya kita kenalan. kujabat tanganmu lewat sapuan sapuku yang setiap menjelang latihan dalam'suatu kegiatan', kita senantiasa berlatih bersama, seperti bermeditasi, berhoha hoha olah suara, berjumpalitan oleh tubuh dan sebagainya. Berlatih membaca naskah, membedah naskah, menghafal dialog, berakting, kemudian berpentas bersama. Begitu mengasyikkan perkenalan kita waktu itu, sampai sampai kuliahku terbengkalai.

Selalu sehabis pementasan kita lalu berpacaran. Mulanya aku hanya berani menggandeng dan menggengam tanganmu untuk bersama-sama melepas lelah sambil menikmati perasaan hasil jerih payah selama berlatih. Kemudian meningkat, kucium pipi dan keningmu sambil bercerita panjang lebar tentang pengalaman betapa nikmatnya berpentas, yang sebenarnya tak bia dilukiskan seperti yang tadi aku katakan sebelumnya. Lebih jauh lagi kucerna bibir dan lidahmu bersamaan kusalurkan hasrat syahwat estetikku dengan liar dengan menanggalka peran tokoh yang baru kta mainkan. dan selalu kita ketagihan!

Di ruang kuliah, di bangku taman, diperpustakaan, di kolon langit-langit gedung, di kantin, di WC, di kamar kost, di belakang panggung, di kebun binatan, di jalan lengang, di makam pahlawan, di latihan ala, dan dimanapun kita berpacaran selalu bercumbu. Setiap saat kita punya waktu selalu dan selalu pacaran dan bercumbu.

Kerapnya bercumbu membangkitka keinginan yang lebih jauh lagi, dan mencapai titik kulminasi percumbuan pada fase persetubuhan kita. Aku mensetubuhi kamu tanpa harus melewati upacara ikatan formal perkawinan, tapi secara naluriah, dan berusaha menyngkirkan tetek bengek yang menghambat keinginanku itu. Tapi bukan semata membabi buta mengikuti naluriah itu, melainkan aku mengharmonisasikan dengan nurani, sehingga keinginan naluriahku itu menjadi penerjemahan atas anugerah tuhan yang diberikan kepadaku. meski banyak orang mencemooh, mentololkan dan menghujat perbuatanku itu peduli amat aku.

Ternyata dari keinginan naluriah semacam itu aku menemukan kemanusiawianku kembali. Kemanusiawian yang merasa sebelumnya bukan manusia, yang dibinatangkan syahwat, yang dimaterikan pikiran yang dirobotkan keinginan-keinginan mekanis kehidupan. Aku merasa belajar menjadi manusia dalam setiap laku persetubuhn kita. Bahkan mendorong aku mampu menuangkan kemuakkanku terhadap diriku sendiri dan kehidupan yang tidak membuat aku dalam kemanusiawian itu ke dalam baris kata-kata, yang kemudian menjadi alur cerita untuk dipentaskan. Terlebih lagi, membuat aku lebih berdaya menggarap cerita itu menjadi sebuah pertnjukkan.

Sungguh aku tidak mengerti kenapa aku bisa menjadi peulis, padahal aku tak memiliki budaya menulis. Bahkan mensutradarai tulisanku sendiri, padahal secara formal atau mungkin bakat aku tak memiliki kemamuan itu. Jujur saja aku kadang bingtung memikirkan ini. Tapi jelas semua ini gara-gara persetubuhan ini bukanlah suatu dosa, tapi sebaliknya karunia yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada yang bukan manusia seperti aku. Sungguh aku terlalu bersyukur, terlalu bersyukur.

Oleh sebab itu aku ingin melamarmu dalam perkawinan jiwa, tanpa melewati keformalan yang tak membuatku menjadi manusia. Mungkin bisa saja surat ini sebagai surat lamaranku kepada kamu yang sedikit berbau formal itu. Tapi yang jelas sebelum aku menulis surat ini, aku sudah melamarmu dan tidak formalis. Harapanku aku ingin kau mau menikah denganku dalam perkawinan jiwaku, setelah cukup lama berulang kalio kita melakukan persetubuhan bersama. Salam inginku kepada calon mempelaiku yang bernama "Teater".

Surakarta, 8 januari 2001

*Tersimpan dalam laci tangsi Teater crystal