Wednesday, January 10, 2007

Kembang Gula

oleh: Tri indah

“Sudah, lebih baik kita break saja!” teriak Aktor kepada Jelita. “Apa? Break? Maksudmu? Masa pacaran pake break, Tor?” tanya Jelita dengan tercengang. ”Pokoknya kita introspeksi diri masing-masing deh. Aku capek bertengkar melulu sama kamu, ngerti?” jawab Aktor dengan ketus. ”Berapa lama?” tanya Jelita pelan. ”Entahlah. Sampai salah satu dari kita capek dan berhak memutuskan hubungan!” ujar Aktor dengan entengnya. ”Berarti, kita sekarang putus tor?” tanya Jelita sekali lagi, sambil menyeka ingusnya. Suaranya mulai bergetar. ”Pokoknya, break!” jawab Aktor singkat. Kali ini suara Aktor terdengar dingin dan angkuh.

Masih teringat di benak Jelita peristiwa satu bulan yang lalu, saat Aktor mambuat keputusan tentang hubungan mereka berdua. Dan sekarang, di depan matanya, ia melihat Aktor sedang naik motor berdua dengan Karen. Hati Jelita kembali miris. “Apakah ini yang dimaksud Aktor break? Apakah ini yang dimaksud Aktor introspeksi? Bisa seenaknya saja jalan berdua dengan orang lain?” tanya Jelita kepada Deden, temannya yang selalu setia mendengar keluh kesahnya. ”Sabar Li. Mungkin Karen sama Aktor sedang mengurus surat-surat untuk pertunjukan yang akan datang. Bukannya mereka berdua memang yang bertanggung jawab?” hibur Deden. ”Iya. Tapi apa harus mesra seperti itu? Dan ketika aku iseng tanya sama Nina, memang mereka berdua mesra banget. Bukan mesra seperti teman Den,” jawab Jelita dengan suara bergetar. Suara yang khas dari seorang cewek saat menahan tangis. ”Ah, sudahlah. Nanti juga pasti jelas hubungan kalian berdua seperti apa. Tenang, bu,” sambil tersenyum, Deden kembali menghibur sahabatnya. “Tapi Den, aku nggak kuat melihat mereka berdua terus-terusan. Belum lagi gosip yang nggak enak di kupingku. sakit rasanya liverku ini,” rintih Jelita pada Deden. ”Udah, udah. Jangan terlalu dipikirin. Lama lama nanti malah kamu yang masuk rumah sakit. Wah, aku yang repot jadinya. Siapa yang bantuin aku? Wis, wis, cup ya, anak manis,” Jelita tersenyum mendengar bujukan sahabatnya. Seolah-olah Jelita masih balita yang menyusu pada ibunya. ”Ha… ha… Enak aja. Emangnya aku keponakanmu, yang bisa dibujuk pake permen Den?” teriak Jelita tepat di telinga Deden, sambil menggelitiki pinggang sahabatnya yang sedang mengaduk kopi di cangkir. Kontan saja Deden kaget. Sendok pengaduk kopi pun melayang kearah Jelita yang sudah lari menjauh darinya sambil tertawa. Dalam hati, Deden sedikit lega melihat senyum Jelita. Paling tidak dalam satu hari ini ia berhasil membuat tersenyum kembali sahabatnya itu.

“Jalan, yuk?” tanya Aktor ketika menelepon Jelita pada suatu hari. ”Jalan kemana?” Jelita menjawab dengan malas. ”Kemana aja. Pokoknya jalan,” kata Aktor. ”Jalan aja sama Karen. Toh kemarin aku lihat kalian berdua sedang asyik nongkrong. Di… Rumah Kopi kan?” tanya Jelita sambil meremas-remas kabel telepon. ”Maksudnya apa sih Tor? Seperti itu maksud kamu introspeksi? Bisa jalan berdua dengan cewek lain? Kalo memang udah nggak mau nerusin hubungan kita lagi, ya udah, jangan bikin aku menggantung. Jangan egois!” Jelita nerocos dengan menggebu-gebu. ”A… a… aku nggak jj… jalll… an sama Karen kok. Tahu darimana kamu?” kata Aktor terbata-bata. ”Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Kemarin aku kebetulan lewat Rumah Kopi selesai workshop tari dengan Nungki Kusumastuti di Galeri Srawung. Kamu nggak usah bohong!” kata Jelita sewot. Ia berusaha menahan air mata yang sudah mulai menggantung di pelupuk matanya. Ia malu karena sejak tadi ibunya mencoba curi-curi pandang memperhatikan tingkahnya. ”Tapi aku bisa jelaskan Li. Aku sama Karen kemarin habis ngambil poster untuk disebar ke kantong-kantong kesenian, terus mampir untuk beli minum, udah itu aja, nggak lebih kok,” kilah Aktor. ”Tuh kan, akhirnya kamu keceplosan kalau memang keluar sama Karen. Tadi katanya kamu nggak jalan sama Karen. Mana yang benar?” teriak Jelita. Tanpa ia sadari, ibunya yang sejak tadi memperhatikannya, melotot sambil mengangkat jari telunjuknya ke mulut. Dengan nada lebih pelan, Jelita melanjutkan pertanyannya. ”Terus, lusanya kamu jalan juga sama Karen ke pertunjukan di SCC kan? Aku tahu dari temanku yang kebetulan jadi panitianya. Kamu nggak usah mungkir Tor. Aku sudah tahu semuanya. Kamu banyak mengingkari komitmen yang kamu buat sendiri. Sepertinya, kamu nggak usah ketemu aku lagi,” kata Jelita sambil menutup telepon. Ia terdiam sesaat. Kemudian menghembuskan nafas yang sempat tertahan.

Dua bulan kemudian...

“Li, Aktor datang sama Karen di technical meeting Pagelaran Seribu Seniman yang kita pegang ini. Kamu jangan kaget ya,” Deden memberitahu Jelita dengan hati-hati karena takut hati sahabatnya teriris lagi. ”Hmm…,” sahut Jelita dengan tetap memandang layar monitor. Dua bulan terakhir ini Jelita sudah banyak merenung dan berdoa. Bahkan nggak tanggung-tanggung, Jelita mencoba Sholat Istikharah demi menenangkan hatinya dan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa tentang apa yang terbaik baginya dan Aktor. Dan sekarang Jelita pasrah.

Saat technical meeting…

“Dan nanti apabila ada yang membutuhkan informasi lebih atau membutuhkan surat, bisa menghubungi Jelita Restu Bumi atau yang biasa dipanggil Elit atau Jelita,” kata Deden menerangkan kepada peserta technical meeting, sambil menyenggol Jelita. “Oh iya, saya Jelita. Kalau butuh informasi lebih lanjut bisa menghubungi saya,” jawab Jelita tergagap karena pikirannya tertuju kepada Aktor dan Karen yang duduk diseberangnya. Jelita sudah bulat dan mantap untuk mengakhiri hubungannya dengan Aktor. Diambilnya HP, lalu mulai mengetik kata-kata perpisahan. ”Sepertinya kamu bisa jalan dan pacaran sama siapa saja Tor. Mulai saat ini kamu bebas menentukan hidup kamu sendiri. Terima kasih atas waktu yang sudah kita jalani berdua. Hubungan kita berakhir, aku mundur!” send… Aktor… Ok. Terkirimlah SMS yang Jelita buat. Tit… tit… tit… Dari seberang terdengar suara HP. Jelita hanya sanggup menahan air mata karena acara technical meeting masih berlangsung. Jelita dan Aktor sempat berpandangan. Namun hanya tiga detik Jelita mampu menatap Aktor.

Tiga hari kemudian Aktor nekat mencari Jelita di sekolahnya bahkan sampai ke kelas-kelas. Jelita tahu kalau Aktor mencarinya sebab SMS yang dikirimkan Aktor tidak dihiraukannnya. Telepon kerumahnya yang berkali-kali dan berkali-kali pula menyuruh Mak Supi mengatakan kepada Aktor kalau dia sedang… pergi latihan tarilah, sibuk ngurus pagelaran di Galeri Srawunglah, pokoknya terserah Mak Supi dia mau ngomong apa. Pokoknya Jelita nggak mau dengar suara Aktor. Tapi kini Jelita tidak bisa menghindar lagi. Jarak mereka kini hanya satu meter dan tidak ada waktu untuk berbalik menuju kantor kepala sekolah. “Akhirnya aku bisa ketemu kamu. Kemana aja? SMSku nggak nyampe? Kamu sibuk ngurus pagelaran? Apa maksud SMS kamu waktu TM, Li?” tanya Aktor nerocos dan ngos-ngosan. ”Nyampe kok. Memang lagi sibuk ngurus pagelaran. Maksudku udah jelaskan, kita udah nggak ada hubungan lagi. Ngerti bahasa Indonesiakan?” jawab Jelita pendek-pendek dan to the point. “Tapi Li…?” belum sempat Aktor bicara banyak, Jelita menyahut, ”Tor… udahlah. Kamu kembali aja ke kampus. Bukannya kamu juga lagi sibuk persiapan untuk pagelaran? Kamu dan Karen udah klop, nggak usah mikirin aku. Aku cuma anak sekolah yang lagi sibuk-sibuknya mencari pengalaman dalam membuat pagelaran besar. Kita akan berhubungan hanya sebatas kerja. Sori Tor, aku sibuk,” Jelita meninggalkan Aktor yang sedang terbengong. Dia tidak menyangka kalau Jelita sudah jauh lebih dewasa. Padahal hanya tiga bulan mereka tidak bersama-sama. Jelita memang satu-satunya anak SMA yang bisa masuk di lingkungan seniman kota karena kemampuannya dalam menari tidak diragukan lagi. Dan lebih dari itu, pengalamannnya yang sudah beberapa kali mengikuti pagelaran tari di beberapa negara, membuat Jelita bisa menjadi panitia event besar yang akan datang.

Dalam kesendiriannya, Aktor teringat pertemuan mereka berdua dulu. Aktor adalah mahasiswa jurusan teater yang seringkali latihan dan nongkrong di galeri tempat Jelita latihan menari tiap tiga kali dalam seminggu. Untuk pertama kalinya Aktor bisa betah duduk melihat latihan tari karena pada waktu itu ia melihat Jelita yang sedang luwes-luwesnya menarikan Tari Bedoyo. Jelita begitu mungil, manis, tapi terlihat sekali kalau cewek itu adalah sosok yang punya bakat besar dan tekat kuat. Sejak saat itulah Aktor semakin sering nongkrong dan menungu Jelita pulang latihan. Dan selama satu bulan pendekatan, dia berhasil menyunting Jelita untuk jadi kekasihnya. tapi setelah tiga setengah tahun menjalin hubungan, Jelita memutuskan hubungan. Itu juga karena Aktor yang pertama kali mengusulkan mereka break. Aktor bingung. Tiba-tiba dia teringat Deden teman kuliahnya yang kebetulan adalah sahabat Jelita di lingkungan seniman kota. Aktor segera berlari menuju sepeda motornya dan meninggalkan sekolah Jelita untuk menemui Deden untuk meminta bantuannya.

“Den… Deden…,” teriak Aktor ketika memasuki komplek Unit Kegiatan Mahasiswa di kampusnya. ”Apa sih, teriak-teriak dari ujung komplek sampe kesini. Kayak orang kesetanan aja. Ada apa ?” tanya Deden. ”Aku minta bantuan kamu untuk meluluhkan hati Jelita. Den, help me my friend… Kamu kan sahabat terbaiknya Jelita, plis…,” ujar Aktor memohon. Nafasnya masih ngos-ngosan. ”Nggak ah. Kamu sekarang baru merasa kehilangan Jelita. Kemana aja kamu Tor? Nggak sadar kalo udah punya pacar yang segitu baiknya, sabar, pengertian, punya segudang prestasi lagi. Kalo Jelita masih agak kekanak-kanakan mestinya kamu paham. Dia baru kelas dua SMA. Sebentar lagi aja naik kelas tiga. Kamu yang udah mulai dewasa mestinya bisa membimbing dia. Bukannya ngajak break segala. Kalo Jelita mau, dari dulu dia udah mutusin kamu. Nggak sedikit anak yang nembak dia. Ingat kan teman-teman dari Bandung yang sempat ngejar Jelita sampe ke Surabaya? Sa’i anak seni rupa teman kita, yang sekali melihat Jelita langsung berani nembak. Aria anak Solo, yang sempat kerjasama bareng Jelita terus langsung kelimpungan waktu ditinggal pulang ke Surabaya, ingat? Terus… Galih… Rako… Arnet anak balet… Randu si seniman sableng kampus kita… ah… pokoknya banyak. Mestinya kamu jauh lebih tahu kan kalo Jelita itu kembangnnya seniman muda, dari yang sok seniman, seniman sableng, sampe yang benar-benar seniman mumpuni, mengharapkan Jelita jadi belahan hati mereka. Kamu yang udah jadi pacarnya malah menyia-nyiakan Jelita. Goblok lu… Pokoknya aku nggak mau bantuin kamu karena aku tahu gimana menderitanya Jelita saat itu,” jawab Deden panjang lebar dengan entengnya, sambil rokok tidak lepas dari mulutnya dan tangan yang terus mengetik di keyboard komputer. ” Urus sendiri deh, kamu kan udah jago sama perempuan. Buktinya, Karen bisa luluh sama kamu. Gih sana,” ujar Deden cuek. “Kok tega sih Den. Kamu kan teman lama aku juga. Bantu kek… Aku sama Karen nggak ada apa-apa,” Aktor mengiba. “Dasar muka monyong lu! Aku pernah tanya Karen, katanya kamu udah nembak dia, maksudnya apa? Jelita mau ditaruh dimana? Ban serep? Aku nggak rela Tor, kalo Jelita kamu buat bulan-bulanan. Tahu nggak gara-gara ada masalah sama kamu Jelita sempat pingsan waktu latihan buat pagelaran yang akan datang. Berat badan Jelita turun tiga kilo. Padahal sama mbak Sinto berat badannya harus stabil biar proporsional. Kamu tega ya… Ojo’ gendeng Tor! Kuwi ngono cah wadon. Ojo wani-wani karo wong wadon. Kuwalat kowe Tor!” kembali Deden menceritakan penderitaan Jelita meskipun sedikit dibumbui. Deden memang jagonya mendramatisir hampir apa saja.

Aktor benar-benar merasa bersalah. Dia ingin sekali kembali pada Jelita. Keesokan harinya Aktor sudah menunggu di depan rumah Jelita seperti yang ia biasa lakukan sebelum-sebelumnya untuk mengantar Jelita ke sekolah. Jelita membuka pintu pagar rumahnya dan kaget melihat Aktor yang dengan senyum termanisnya mengucapkan, “Selamat pagi. Berangkat sekolah ya? Bareng, yuk?” ”Dari jam berapa nongkrongin rumah orang?” tanya Jelita. ”Jangan sewot gitu dong, biasanya kan juga seperti ini?” kata Aktor. ”Aku berangkat naik angkot. Terima kasih sudah nunggu aku dari tadi. Aku berangkat,” jawab Jelita sambil melangkahkan kaki menuju gang depan rumahnya untuk menunggu angkot. ”Lho, Li… Aku antar ya? Apa gunanya aku nunggu kamu dari tadi?” tanya aktor sambil berusaha mengejar Jelita. ”Lho, aku kira kamu cuma nunggu aku keluar dari rumah aja, aku nggak pernah minta kamu untuk mengantar aku pergi sekolah kan? Lagian, aku udah biasa kok berangkat dan pulang sekolah sendiri tanpa diantar,” dengan entengnya Jelita menjawab sambil terus melangkahkan kaki ke ujung gang sementara Aktor tidak mampu menjawab ocehan Jelita.

Pagelaran Seribu Seniman…

Aktor di deretan penonton. Ia melihat Tari Bondan di panggung dan terkesima. Selain koreografinya yang menarik dan indah, pastinya seorang gadis mungil dengan penuh penghayatan sedang menari tunggal di tengah panggunglah yang membuatnya terkesan. Ya, siapa lagi kalau bukan Jelita. Sudah lima bulan Aktor berpisah dengan Jelita. Dia masih merasakan kasih sayang yang amat dalam terhadap gadis mungil itu. Aktor tidak berhasil merebut hati kekasihnya yang sudah terlanjur sakit. Kini Aktor hanya bisa melihat Jelita dari panggung ke panggung, karena nama Jelita semakin berkibar menjadi penari muda berbakat. Sedangkan dia tetap menjadi mahasiswa jurusan teater yang tidak ada kemajuan. “Terus berkarya Jelita Restu Bumi. Suatu saat, kamu akan jadi seniman yang berpengaruh…,” gumam Aktor, kemudian pergi meninggalkan gedung pertunjukkan dengan langkah berat. Pikirannya dipenuhi gambar-gambar masa lalunya dengan Jelita. Gambar-gambar itu saling berkelebatan dan tidak ada habisnya.

Jelita di balik panggung…

“Terima kasih tetap mau melihat tarian-tarianku, Tor… Aku harap kamu bisa menyadari apa artinya kesetiaan dan cinta… Terima kasih…,” kata Jelita selepas menyeka keringatnya di wajahnya dengan handuk.

Teater Crystal, 16 Oktober 2006

Crystal Production

No comments: