Tuesday, December 12, 2006

Naskah TOHIR

Tohir Gantung Diri

Karya: Luky Hari Wibowo

Babak I

(Setting kompleks kuburan. Tali bunuh diri menggantung di pohon kamboja. Di bawahnya ada level kecil tempat Tohir berdiri. Suasana sunyi menjelang Maghrib)

Tohir:

Malam ini nanti, aku tidak akan menunda-nunda lagi. Niatku sudah bulat. Persetan dengan efek yang bakal mengimbas keluargaku dan orang-orang di sekitarku. Hati ini benar-benar sakit. Oh Leila… kini kau akan menyaksikan, betapa aku mencintaimu dengan segenap jiwaku. Hingga aku rela mati demi kebahagianmu. Oh, Leila… buat apa aku hidup, kalau hanya untuk melihatmu jalan berdua dengan Ismoyo. Bukankah selama ini kita telah memadu kasih? Kau sungguh mengecewakanku Leila. Dan kau Ismoyo… dasar ular bludak! Tega benar kau menikam aku dari belakang. Nanti kalau aku sudah mati, arwahku bakal gentayangan, membikin perhitungan denganmu!

(Sosok perempuan tua muncul sambil membawa sapu lidi panjang, sedang menyapu kompleks kuburan. Dia tampak ngomel-ngomel sendiri)

Mbok Jum:

(Tersentak) Heh, wong edan! Surup-surup kok ngomel-ngomel sendiri di kuburan. Ayo, pergi!

Tohir:

Eh, mbok Jum… (Gugup)

Mbok Jum:

Lho, kamu kok tahu namaku?

Tohir:

Ya, tahu. Sayakan…

Mbok Jum:

Eh… eh, kamukan Tohir, anaknya mak Romlah, bakul tempe itu kan?

Tohir:

Iya, mbok.

Mbok Jum:

Mau apa kamu? Ayo mulih! Kasihan makmu sejak tadi pagi sudah antri untuk ambil dana kompensasi BBM. Pergi sana!

Tohir:

Aduh, mbok… saya di sini itu mau…

Mbok Jum:

Mau nggrandong ya? Mau cari nomerkan?

Tohir:

Yang mau nggrandong itu siapa?

Mbok Jum:

Ya, kamu! Wiswis… nggak usah pakai gini-ginian. Ayo, mulih! Kasihan makmu.

Tohir:

Aduh, mbok… sampeyan itu bikin drop mental saya. Buyar suasana hati yang sudah saya bangun sejak tadi pagi. Rencana saya bisa kacau.

Mbok Jum:

Eh… eh… masih mau mangkir? Wis, gak usah! Sebagai juru kunci, saya tidak rela kamu nggrandong di sini. Pergi! Sana, cari tempat-tempat angker lainnya!

Tohir:

Tapi saya ini tidak sedang nggrandong, mbok…

Mbok Jum:

Sudah yo le… tobat. Lama-lama kamu bisa jadi penghuni kuburan sini, kalau masih suka nggrandong.

Tohir:

Nah, itu! Saya memang sedang mempersiapkan diri untuk jadi penghuni tempat ini, untuk selamanya.

Mbok Jum:

Se’ to le… maksudmu itu apa?

Tohir:

Mbok Jum nggak lihat, ada tali gantungan di sini? Saya ini sedang bersiap-siap untuk gantung diri.

Mbok Jum:

Edan! Bocah gemblung (kaget bukan main)

Tohir:

Saya memang gemblung. Tapi saya tidak edan. Saya sadar. Saya waras.

Mbok Jum:

Lha kenapa? Terus… makmu… Romlah… Masya allah… Aku harus cepat-cepat kasih tahu orang-orang. (bergegas)

Tohir:

Lho, mbok! Jangan! (panik)

Mbok Jum:

Tolong… tolong… Tohir mau gantung diri…

Tohir:

Aduh, kok jadi ruwet begini. Daripada rencanaku bubrah, aku eksekusi kamu!

(Dengan cepat Tohir menyergap mbok Jum, kemudian menggantungnya. Mbok Jum tewas seketika. Mayatnya dikubur di kompleks kuburan itu juga. Adegan nampak kesan saja. Berlangsung cepat dengan lampu mati-nyala)

Babak II

(Mbok Jum berdiri di bawah tali gantungan dengan cahaya merah. Dia nampak sebagai arwah. Ucapan-ucapannya tak terdengar pemain-pemain lain. Tohir semakin gelisah)

Mbok Jum:

Heh, Tohir! Bajigur kamu! Yang punya niatan matikan kamu, kenapa justru aku yang kau korbankan. Dasar anak muda jaman sekarang! Ngawur! Tidak bertanggung jawab! Terlahir dari bangsa apa kamu ini?

Tohir:

Aduh… mbok Jum… mbok Jum… kok jadi kamu yang mati. Dasar usil! Sudah tua, bawel!

Mbok Jum:

Tuh, lihat! Sudah membunuh, masih menyalahkan. Bocah keblinger!

Tohir:

Lihat kamu mati, aku jadi takut mati. Apa sebaiknya kuurungkan saja niatku gantung diri?

Mbok Jum:

Eh… eh… kebangetan! Jaman sekarang semakin jarang saja kujumpai ksatria di negeri ini. Yang sering muncul, justru manusia-manusia plin plan macam Tohir. Duh, gusti…

(Tiba-tiba tak terduga Leila muncul berjalan menyusuri kompleks kuburan)

Leila:

Lho, mas Tohir!

Tohir:

(Kaget dan heran) Leila! Kamu… kok… ada di sini…

Leila:

Iya, mas. Kebetulan lewat. Mas Tohir sendiri ada apa di sini?

Tohir:

Saya… anu… saya… mau… eh… (Gugup)

Leila:

Mau apa mas? Kok wajahmu pucat begitu?

Tohir:

Eh… anu… saya baru saja membantu mbok Jum. Eh, maksud saya menggantikan mbok Jum yang pulang kampung. Jadi ya… kecapekan.

Leila:

Oh, ya sudah. Monggo, mas… Eh iya, saya lupa titip pesan buat mak Romlah.

Tohir:

Pesan apa ya?

Leila:

Itu lho, saya mau beli tempe lagi. Kali ini lebih banyak dari biasanya. Mau dimasak sambal tumpang. Bilang mak Romlah, besok saya ambil. Maklum, mas Ismoyo kan lagi ngidam. Untung mintanya cuma sambal tumpang. Aneh ya mas Tohir, saya yang hamil kok mas Ismoyo yang ngidam. Nanti kalau saya melahirkan, jangan-jangan dia yang kesakitan. (Tertawa menyeringai)

Tohir:

(Bengong) Lho, dik Leila hamil berapa bulan.

Leila:

Mas Tohir ini bagaimana sih. Kan sudah lima bulan.

Tohir:

Jadi…

Leila:

Lha ya itu mas Tohir, saya bersyukur sekali bisa punya anak. Setelah lima tahun menanti, ternyata baru nongol sekarang. Padahal kita berdua hampir bercerai, gara-gara sering ribut. Mas Ismoyo mengira saya ini mandul. Mas Tohir… mas…?

Tohir:

(Kaget) Eh… iya… apa? Maaf… saya…

Leila:

Ya sudah, mas. Saya pulang dulu. Nanti kemalaman. Sudah ditunggu mas Ismoyo di rumah. Pesan saya jangan lupa ya. (Pergi berlalu)

Tohir:

Jadi… dia… sudah… hamil… Leila… sudah… lama… menikah... Terus… sebenarnya… kapan kita pacaran… Bukankah… Ya, ampun… aku… (linglung)

Mbok Jum:

Itu tandanya kamu sudah tidak waras. Otakmu itu sudah tidak jalan, Tohir… Tuh, akibatnya terlalu banyak dan lama berkhayal. Jadi bingung menentukan mana yang nyata dan tidak nyata.

Tohir:

Jadi selama ini…

Mbok Jum:

Modar wae! Heh, Tohir! Kembali saja ke rencana semula. Kek! Gantung diri!

Tohir:

Aduh mak… tolong aku mak… mbok Jum… aku…

Mbok Jum:

Oalah… Tohir… Tohir… Kowe iku kesurupan opo to le… kamu sudah membunuh aku, generasi tua yang kau anggap bawel. Sekarang, kamu kok minta tolong aku.

Babak III

(Seluruh ruang panggung gelap. Hanya level tempat Tohir dan mbok Jum yang menyala. Warna netral saja)

Tohir:

Leila… sebenarnya apa yang telah terjadi diantara kita? Apa yang telah terjadi antara kau dan Ismoyo? Atau… diantara kita sebenarnya tidak pernah terjadi apa-apa? Itu hanya cerita usang masa kanak-kanak, yang kemudian terbang melayang, mengangan… Lantas siapa Ismoyo? Dia hadir bak petir di siang bolong, memecah kesunyian alam khayalku, memperjelas potret diriku, yang hanya terlahir sebagai anak bakul tempe

Mbok Jum:

Heh, Tohir! Dasar anak tidak tahu rasa bersyukur! Kau dibesarkan lewat butiran-butiran kedelai yang ditempa, diinjak-injak, hingga dinikmati bangsamu!

Tohir:

Mak, andai kau bukan bakul tempe…

Mbok Jum:

Terus bakul apa? Bakul tanah, rumah, mobil, saham, solar, pulau, nuklir… bakul kehormatan… dodol bongsomu dewe? Kamu sudah gendeng! Bahkan kamu sudah mati!

(sayup-sayup terdengar orang-orang ramai dari kejauhan. Tiba-tiba mendekat. Lampu menyala keseluruhan. Ternyata rombongan pengantar jenazah yang hendak menguburkan mak Romlah)

Orang 1:

Kasihan mak Romlah. Sudah tua masih ikut-ikutan antri pembagian dana kompensasi BBM. Akibatnya…

Orang 2:

Tadi itu, mak Romlah sesak nafas karena berdesak-desakan?

Orang 1:

Bukan hanya karena itu. Tapi juga terinjak-injak. Oalah mak Romlah… mak Romlah… malang betul nasibmu.

Orang 2:

Mana anak-anak laki-laki satu-satunya tidak jelas kemana rimbanya. Tohir… Tohir… ciloko kamu!

(Tanpa diketahui orang-orang Tohir menangis sendiri, meronta-ronta)

Tohir:

Mak… aku di sini… Kenapa semuanya tidak ada yang mendengar? Hei… orang-orang…

Mbok Jum:

Ola opo to le… pakai nangis geruh-geruh segala. Eksistensimu itu antara ada dan tiada. Terdengar dan tidak terdengar. Sebab kamu itu pemuda yang nanggung. Serba magak. Mati ora… urip yo ora…

Tohir:

Mak… lebih baik aku gantung diri saja. Biar bisa ketemu kamu mak. Aku ingin mencium kakimu. Aku juga ingin ketemu mbok Jum. Ingin minta maaf.

Mbok Jum:

Oalah le… le… opo yo iso? Lagi pula mau mati saja kok banyak keinginan. Bocah kok sakarepe dewe!

(Tohir masih berteriak-teriak memanggil mak Romlah dan mbok Jum. Dan masih mengutarakan keinginan-keinginannya yang lain-bisa dikenbangkan. Lampu redup perlahan, kemudian mati)

Tohir:

Mak… mbok Jum… kenapa gelap di sini? Dimana kalian?

Selesai

No comments: